Aku, Janda Tanpa Anak,Namaku Dina. Aku lahir dan dibesarkan di
kota Bandung. Usiaku 33 tahun, aku bekerja di sebuah bank swasta di Jalan Asia
Afrika, Bandung. Saat ini aku hidup sendiri. Aku pernah menikah, kurang lebih
selama empat tahun. Pernikahanku tidak dikaruniai anak. Aku bercerai, karena
suamiku berselingkuh dengan rekan bisnisnya.
Untuk mengusir kejenuhanku selama kurang lebih satu tahun
setengah, aku selalu menghibur diriku dengan membaca. Kadang aku chatting, akan
tetapi aku tidak berharaf untuk bertemu dengan teman chatting-ku. Aku masih
trauma akibat perlakuan suamiku terhadapku.
Aku kenal beberapa orang teman chatting yang asyik untuk diajak
bercanda ataupun berdiskusi, salah satunya adalah Irwan. Dia anak kuliahan,
semester akhir di universitas swasta di Bandung. Irwan merupakan teman
chatting-ku yang pertama kali yang pernah bertemu denganku.
Pada awal perkenalannya aku kurang respek terhadapnya, karena
email-nya saja menyeramkan, dapat pembaca bayangkan, cari_ce_maniax@***.**.
Tapi entah angin apa yang membuatku penasaran untuk bertemu dengannya, padahal
aku baru sekali chatting dengannya. Cerita selanjutnya adalah pertemuan
pertamaku dengan Irwan yang berakhir ke sebuah hotel di sekitar jalan
Setiabudi.
Hari itu, Sabtu tanggal 16 Juni 2001, aku berjanji untuk bertemu
dengan Irwan di sebuah cafe di belakang BIP pukul 16.00. Aku sengaja datang
lebih awal sekitar pukul 15.45, dan memilih tempat yang agak ke pojok agar aku
dapat melihat dia terlebih dahulu. Aku memesan minuman, dan mataku tertuju
terus ke arah pintu masuk cafe.
Sambil menunggu Irwan datang, aku memperhatikan orang di
sekelilingku. Aku merasa risih sekali, karena ada anak muda (usianya sekita 25
tahunan) yang duduk sendirian di meja sebelahku memperhatikan terus sejak
pertama aku masuk cafe. Tapi aku cuek saja. Tepat pukul 16.00, anak muda itu
menghampiri diriku dan memperkenalkan dirinya. Namanya Irwan.
Aku kaget sekali, karena tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa
Irwan itu masih muda. Dia masih sangat muda, padahal ketika chatting, dia
mengaku berusia 35 tahun. Dan tentunya juga, selama aku berkomunikasi melalui
telepon, suara Irwan kelihatan seperti seorang bapak-bapak dan sangat dewasa
sekali. Aku sangat grogi. Untuk menghilangkan rasa grogi, kupersilakan Irwan
duduk dan memesankan minuman.
cerita hot dewasa
“Maaf Bu Dina, saya berbohong kepada Ibu. Saya mengaku berusia 35
tahun, padahal usia saya tidak setua itu.
Tentunya juga, saya mohon maaf tidak memakai pakaian yang saya
janjikan. Saya harus panggil siapa nih? Ibu atau Mbak atau Tante atau siapa
ya?”
“Dina saja deh, biar lebih akrab,” jawabku.
Selanjutnya Irwan bercerita, kenapa dia berbohong usia, juga
aktifitasnya sehari-hari, begitu juga aku menceritakan aktifitasku dan
kehidupan sehari-hariku. Aku tidak menyangka dari cara dia berkomunikasi sangat
dewasa dan banyak dibumbui dengan kata-kata humor, sehingga aku dibuat
terpingkal-pingkal olehnya.
Tidak terasa, waktu bergulir dengan cepat. Sekitar pukul 5 sore,
Irwan mengajak nonton bioskop di BIP. Aku tidak sungkan-sungkan, langsung
mengiyakan saja. Sepulang nonton sekitar jam 7 malam, aku mengantarkan Irwan
pulang dengan Baleno-ku ke daerah Cihampelas. Ditengah perjalanan Irwan
mengajakku main ke Ciater. Aku sih tidak masalah, karena di rumah pun aku hanya
tinggal sendirian.
Di daerah Lembang kami beristirahat dulu dan bercengkrama sambil
menghabiskan minuman dan jagung bakar. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul
11.30 malam. Akhirnya niat ke Ciater kubatalkan saja. Aku mengajak Irwan pulang
saja. Dia pun mengiyakannya.
Sepanjang perjalanan pulang ke Bandung, Irwan mulai agak-agak
nakal. Sambil bercerita, dia sudah berani mengelus-elus tanganku ketika aku sedang
memindahkan perseneling. Pada awalnya kutepis, tapi bandel juga ini anak. Dia
tidak pernah kapok, walau kutepis berkali-kali. Karena bosan dan tidak ada
hasilnya kalau kularang, maka kubiarkan dia mengelus-elus tanganku.
Aku akui, elusannya itu membuat hatiku berdebar lebih cepat dari
biasanya. Bahkan semakin lama elusannya semakin ganas, dan sudah mulai berani
mengelus pahaku. Kubiarkan saja, dan aku tetap konsentrasi menyetir mobil.
Entah karena suasana yang mendukung, karena kami hanya berdua-duaan, ataukah
karena kesepianku selama ini, karena sudah lama tidak dielus laki-laki. Aku
membiarkan tangannya beraksi lebih jauh. Aku mulai merinding, dan darahku
serasa panas menjalar seluruh tubuhku. Semakin lama, Aku semakin menikmati
elusan tangannya.
Sekarang Irwan sudah sangat berani! Dia sudah berani memegang
payudaraku. Aku mulai terangsang. Aku sudah tidak kuat lagi merasakan elusan
tangannya. Akhirnya mobil kupinggirkan. Aku tanyakan Irwan, kenapa dia berani
memperlakukanku seperti itu, padahal dalam hati aku pun menginginkannya. Dia
minta maaf, tapi tangannya tetap tidak mau lepas dari payudaraku. Aku tak kuasa
menahan rangsangannya. Akhirnya kubalas elusan tangannya dengan sebuah ciuman
di keningnya. Aku tidak menyangka dia menarik tubuhku, dan menciumi bibirku.
Dia melumat bibirku, sampai-sampai aku sulit untuk bernafas.
Dia mulai berani menyelusupkan tangannya di kaos ketat unguku. Aku
biarkan saja. Sungguh permainan yang indah, mulutku sudah tersumpal oleh lidah
Irwan, dan tangannya pun begitu terampil mengelus-elus payudaraku. Bahkan
putingku pun sudah dia elus.
Aku melenguh, “Sh.. ah.. sh.. ah.. sh.. ah..”
Tangan kirinya mulai turun ke arah pangkal pahaku. Aku geli
sehingga menggerinjal. Tangannya mulai membuka reseletingku perlahan-lahan.
Detik demi detik kurasakan tangannya mulai mengelus kemaluanku. Aku semakin
keras mengeluarkan suara. Dan akhirnya aku kaget, ketika ada sebuah mobil
dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan, menyorotkan sinar lampunya.
Konsentrasiku buyar. Aku lalu membereskan reseletingku dan kaos ketat unguku.
Begitu juga Irwan. Akhirnya permainan yang berlangsung sekitar setengah jam itu
harus berakhir karena sorotan lampu mobil yang lewat tadi. Di sekitar
selangkanganku terasa basah.
“Dina, maafin Irwan ya. Telah berlaku kurang ajar sama Dina.”
“Nggak apa-apa koq Fer. Tapi saya bingung, kenapa koq kamu berani
berbuat seperti itu
kepada saya. Padahal kamu kan 8 tahun lebih muda dari
saya.”
“Nggak tahu deh, Yen. Mungkin saya mulai menyukaimu sejak
pertemuan kita di Cafe.”
“Gombal ah..” kataku agak manja.
“Aku geli banget lho, waktu kamu elus tadi. Mungkin karena aku
baru merasakan lagi sentuhan pria, ya Fer. Kalau boleh aku jujur, baru kali
ini, ada cowok yang menyentuh aku
lho Fer. Sejak perceraian aku dengan suami
satu setengah tahun yang lalu.”
“Sudahlah Yen, jangan ngomongin perceraian, nanti kamu sedih.
Mendingan kita melanjutkan perjalanan deh..”
Aku melanjutkan perjalanan dengan berbagai gejolak perasaan dan
kenikmatan yang baru aku raih bersama Irwan. Sambil aku menyetir mobil, Irwan
tidak lupa mengelus pahaku juga payudaraku.
“Yen, bagaimana kalau kita berhenti dulu di hotel. Biar kita bisa
lebih tenang melakukannya.”
Aku bingung, antara mengiyakan dan tidak. Jujur saja, aku ingin
merasakan lebih jauh lagi dari elusan lembutnya itu. Tapi aku ragu dan malu.
Akhirnya kuputuskan, mengiyakan ajakkannya.
Sesampainya di kamar Hotel “S” di sekitar Setiabudi, Irwan tidak
memberikan kesempatan untukku beristirahat. Dia langsung memelukku dan melumat
bibirku. Aku gelapan dan tidak kuasa menolaknya ketika Irwan mulai mebuka kaos
ketat unguku dan membuka celana panjangku. Aku disuruhnya duduk di atas meja.
Dengan elusan tangannya, Irwan telah membuka bra-ku yang berukuran 36B dan
celana dalamku. Dia semakin beringas, bagaikan macan kelaparan. Irwan mulai
menciumi lubang kewanitaanku.
“Ah.. uh.. ah.. uh.. ah.. teru..s Fer.. Ah.. Enaa..k ah.. uh shh..
shh.. uh..”
Rasanya tidak terlukiskan, badanku menggeliat-geliat bagai ulat
kepanasan. Lidah Irwan merojok-rojok vaginaku dan menjilat klitorisku yang
sebesar kacang kedelai.
Lalu kubuka kemeja dan celana jeansnya Irwan. Kaget! Ternyata
“barang”-nya Irwan sudah keluar melewati celana dalamnya. Kelihatan ujungnya
memerah. Aku takut, apakah lubang kewanitaanku muat untuk “barang”-nya Irwan.
Sudah terasa satu jari dimasukkan ke dalam lubang kewanitaanku.
Dikeluar-masukkannya jari itu dan diputar-putar. Digoyang ke kanan dan kiri.
Satu jari dimasukkannya lagi. Terasa sakit, tapi nikmat. Mungkin masih
penasaran, Irwan memasukkan jarinya yang ketiga. Dikeluar-masukkan, digoyang
kiri kanan. Nikmat sekali. Sedangkan tangan kirinya membantu membuka lubang
kewanitaanku untuk mempermudah memasukkan jari-jari kanannya.
“Ah.. uh.. ah.. sh.. uhh.. shh.. terus Fer.. aduh.. nggak kuat
Fer.. Aku mau keluar nih..”
Akhirnya aku basah. Aku tersenyum puas.
“Sekarang gantian ya, jilatin punyaku dong Yen..” Irwan memohon
kepadaku.
“Iya Fer, tapi punyamu panjang, muat nggak ya..?” jawabku.
“Coba saja dulu, Yen. Nanti juga terbiasa.”
“Auh.. aw.. jangan didorong dong Fer, malah masuk ke
tenggorokkanku, pelan-pelan saja ya.
Punyamu kan panjang.”
Sekitar lima belas menit kemudian erangan Irwan semakin
menjadi-jadi.
“Ah.. uh.. oh.. ah.. sh.. uh.. oh.. uh.. ah.. uh..”
Kuhisap semakin kuat dan kuat, Irwan pun semakin keras erangannya.
Irwan mulai ingat, tangannya bekerja lagi mengelus vaginaku yang mulai
mengering, basah kembali. Mulutku masih penuh kemaluan Irwan dengan gerakan
keluar masuk seperti penyanyi karaoke.
“Sudah dulu Yen, aku nggak tahan.., masukkin saja ke punyamu
ya..?” pinta Irwan.
Aku hanya menganggukkan kepala saja, sambil berharaf-harap cemas
apakah punyaku muat atau tidak dimasuki kepunyaannya Ferdi. Kedua kakiku
diangkat ke pundak kiri dan kanannya, sehingga posisiku mengangkang. Dia dapat
melihat dengan jelas kemaluanku yang kecil namun kelihatan gemuk seperti
bakpau.
Kulihat dia mengelus kemaluannya, dan menyenggol-nyenggolkan pada
kemaluanku, aku kegelian. Dibukanya kemaluanku dengan tangan kirinya, dan
tangan kanan menuntun kemaluannya yang besar dan panjang menuju lubang
kewanitaanku. Didorongnya perlahan,
“Sreett..,” dia melihatku sambil tersenyum
dan dicobanya sekali lagi. Mulai kurasakan ujung kemaluan Irwan masuk perlahan.
Aku mulai geli, tetapi agak sakit sedikit. Mungkin karena lubang kewanitaanku
tidak pernah lagi dimasuki kemaluan laki-laki. Irwan melihat aku meringis
menahan sakit, dia berhenti dan bertanya.
“Sakit ya..?”
Aku tidak menjawab, hanya kupejamkan mataku ingin cepat merasakan
kemaluan besarnya itu.
Digoyangnya perlahan dan, “Bleess..” digenjotnya kuat pantatnya ke
depan hingga aku menjerit, “Aaauu..”
Kutahan pantat Irwan untuk tidak bergerak. Rupanya dia mengerti
kemaluanku agak sakit, dan dia juga ikut diam sesaat. Kurasakan kemaluan Irwan
berdenyut dan aku tidak mau ketinggalan. Aku berusaha mengejang, sehingga
kemaluan Irwan merasa kupijit-pijit.
Selang beberapa saat, kemaluanku rupanya sudah dapat menerima
semua kemaluan Irwan dengan baik dan mulai berair, sehingga ini memudahkan
Irwan untuk bergerak. Aku mulai basah dan terasa ada kenikmatan mengalir di
sela pahaku. Perlahan Irwan menggerakkan pantatnya ke belakang dan ke depan.
Aku mulai kegelian dan nikmat. Kubantu Irwan dengan ikut menggerakkan pantatku
berputar.
“Aduuhh.., Dina..,” erang Irwan menahan laju perputaran pantatku.
Rupanya dia juga kegelian kalau aku menggerakkan pantatku.
Ditahannya pantatku kuat-kuat agar tidak berputar lagi, justru dengan menahan
pantatku kuat-kuat itulah aku menjadi geli dan berusaha untuk melepaskannya
dengan cara bergerak berputar lagi, tapi dia semakin kuat memegangnya.
Kulakukan lagi gerakan berulang dan kurasakan telur kemaluan Irwan menatap
pantatku licin dan geli. Rupanya Irwan termasuk kuat juga, berkali-kali
kemaluannya mengocek kemaluanku masih tetap saja tidak menunjukkan adanya
kelelahan bahkan semakin meradang.
Kucoba mempercepat gerakan pantatku berputar semakin tinggi dan
cepat, kulihat hasilnya Irwan mulai kewalahan, dia terpengaruh iramaku yang
semakin lancar. Kuturunkan kakiku menggamit pinggangnya, dia semakin tidak
bergerak berputar lagi, tapi dia semakin kuat memegangnya. Kuturunkan kakiku
menggamit pinggangnya, dia semakin tidak leluasa untuk bergerak, sehingga aku
dapat mengaturnya. Aku merasakan sudah 4 (empat) kali kemaluanku mengeluarkan
cairan untuk membasahi kemaluan Irwan, tetapi Irwan belum keluar juga.
Kupegang batang kemaluan Irwan yang keluar masuk liang
kewanitaanku, ternyata masih ada sisa sedikit yang tidak dapat masuk ke liang
senggamaku.
Aku pun terus mengerang keasyikan, “Auh.. auh.. terus Fer.. auh..
Ena..k Fer.. Ugh.. ah.. lebih cepat lagi Fer.. ugh.. ah.. sshh.. uh.. oh.. uh..
ash.. sshh..”
“Kecepek.., kecepek.., kecepek..,” bunyi kemaluanku saat kemaluan
Irwan mengucek habis di dalamnya.
Aku kegelian hebat, “Dina.. aku mau keluar, Tahan ya..,” pintanya
menyerah.
Tanpa membuang waktu, kutarik kemaluanku dari kemaluannya,
kugenggam dan dengan lincah kumasukkan bonggol kemaluan tersebut ke dalam
mulutku, kukocok sambil kuhisap kuat-kuat, kuhisap lagi dan dengan cepat
mulutku maju mundur untuk mencoba merangsang agar air maninya cepat keluar.
Mulutku mulai payah tapi air mani yang kuharapkan tidak juga keluar. Kutarik
kemaluan dari mulutku, Irwan tersenyum dan sekarang telentang. Tanpa menunggu
komando, kupegang kemaluannya, kutuntun ke lubangku dengan aku mendudukinya.
Aku bergerak naik turun, dan dia memegang susuku dengan erat. Tidak lama
kemudian ditariknya tubuhku melekat di dadanya, dan aku juga terasa panas.
“Sreet.., sreett.., sreett..,” kurasakan ada semburan hangat
bersamaan dengan keluarnya pelicin di kemaluanku, dia memelukku erat demikian
pula aku.
Kakinya dijepitkan pada pinggangku kuat-kuat seolah tidak dapat
lepas. Dia tersenyum puas.
“Dina.., aku baru merasakan kemaluan seorang wanita. Kamu adalah
wanita pertama yang merenggut bujanganku.
Aku selama ini paling banter hanya melakukan peting saja. Sungguh
luar biasa, enak gila, kepunyaanmu memijit punyaku sampai nggak karuan rasanya,
aku puas Yen..”
“Aahh kamu bohong, masa seusiamu baru pertama kali melakukan kayak
beginian,” manjaku.
Dia hanya tersenyum dan kembali mengulum bibirku kuat-kuat.
“Sumpah, Yen..! Apakah kamu masih akan memberikannya lagi
untukku..?” tanyanya.
“Pasti..! Tapi ada syaratnya..,” jawabku.
“Apa dong syaratnya, Yen..?” tanyanya penasaran.
“Gampang saja, asal kamu bisa kuat seperti tadi. Atau nanti saya
kasih pil untuk kamu ya, biar lebih kuat lagi..!”
“Oke deh.. Mandi bareng yuk, Yen..” ajaknya.
Dan kami pun mandi bersama, dan sekali lagi Irwan memberikan
kepuasan yang selama ini tidak kudapatkan selama kurang lebih satu setengah
tahun.
Aku bersiap-siap pulang. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan
pukul 8 pagi. Aku langsung check out menuju Cihampelas mengantarkan Irwan
pulang. Mobil keluar hotel dengan berjalan perlahan.
Sepanjang perjalanan aku berfikir, “Kok bisa-bisanya aku mmberikan
sesuatu hal yang aku jaga selama ini, padahal Irwan baru pertama kali bertemu
denganku. Sekaligus juga aku membayangkan kapan lagi aku dapat memperoleh
kepuasan dari Irwan.”
Kini tangan Irwan menempel pada pahaku, dan tanganku menempel di
celananya. Sesekali Irwan menyandarkan wajahnya ke dadaku dan jari nakal Irwan
mulai beraksi dengan manja. Kurasakan gumpalan daging kemaluan Irwan mulai
mengeras lagi, dia tersenyum melihatku. Akhirnya tidak terasa aku sudah sampai
di Cihampelas, dan menurunkan Irwan. Selanjutnya aku pulang ke rumahku di
sekitar Sukarno-Hatta.
Terakhir, khusus bagi Anda Para Wanita Yang sebaya ataupun senasib
dengan saya (saya janda, berusia 33 tahun), sudi kiranya Anda membagikan
tips-nya untuk saya, agar saya dapat membahagiakan dan memuaskan Irwan lebih
lama.., dan lama lagi. Karena saya sepertinya mulai menyukai dia, dan tidak mau
melepaskan dia. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya.
Baca juga :
No comments:
Post a Comment