Tak semua ibu tiri itu kejam dan menakutkan . aku merasa nyaman
sekali tinggal bersama ibu tiriku . Cerita kekejaman ibu tiri sudah banyak
beredar sejak dulu kala, sehingga sampai diangkat dilayar lebar dan menjadi
tema lagu dengan label Ratapan Anak Tiri misalnya, dan berita-berita yang
memilukan, baik perihal ibu maupun anak tiri ini. Hal itu sempat membuat hatiku
galau ketika ayahku (49) menikah lagi (karena ibu kandungku meninggal), dengan
seorang perempuan (35) sempat meresahkan hatiku. Aku berstatus sebagai anak
tiri dan siap menanggung deritanya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan, justru saya
berusaha berbuat baik dengan mama tiriku itu. Saya ingin mengubah opini publik
bahwa ibu tiri itu kejam, hanya sayang pada ayah dan seterusnya. Image ini
ingin saya ubah; menjadi ibu tiri yang mengasihi, lembut terhadap anak tiri.
Lalu saya bertekad berbuat baik dan menghormati ibu tiri bahkan tidak sekedar
menghormati tetapi membuat hatinya senang, minimal saya tidak menyebalkan di
hadapan matanya. Langkah yang aku lakukan adalah selalu membantu pekerjaan
rumah tangga, apalagi bila pembantu sedang pulang kampung.
Sayapun bersikap baik, terhadap Remy (11) anak kandung ibu tiriku,
bahkan saya anggap sebagai adik kandungku sendiri. Demikian juga aku selalu
bersedia apabila disuruh belanja atau apa saja yang sekiranya dapat aku
lakukan. Usaha mengubah citra ibu tiri yang sudah saya rintis ini untuk
mematahkan bisa anggapan bahwa ibu tiri itu jahat. Namun yang namanya pendapat
umum, mitos tentang kengerian ibu tiri ini ternyata tidak gampang dihapuskan
begitu saja di muka bumi ini, bagai sebuah penyakit yang menahun, kronis dan
berstadium tinggi.
Sikap ibu tiriku tetap tidak baik dan merendahkan anak tiri. Mama
tiriku jarang mengajakku, dia baru mau bicara bila sedang perintah saya, atau
bila saya dianggap melakukan kesalahan. Misalnya bila Remy terlambat berangkat
sekolah, saya yang ditegur, padahal anaknya sendiri yang molor. Hal ini
dilakukan tidak segan-segannya, walau saat ada orang lain atau tamu. Ayahku
hanya diam saja, akupun paham betul posisi ayahku. Aku tetap menganggap ayah
sebagai orang tua yang bijaksana dan sangat mengasihi saya.
Sebenarnya dalam hati aku juga bahagia, ayah mendapatkan istri
cantik, masih muda. Ayah seorang yang berselera tinggi, sudah berumur memang,
tapi kelihatan tetap tampan dan gagah, apalagi sebagai seorang pejabat di
instansinya. Klop sudah. Wanita mana yang tidak tergiur dengan kelebihan
ayahku? Aku tidak menyombong, memang kenyataannya begitu. Angan-anganku semula,
yang penting dengan kehadiran ibu tiri ini ayah menjadi semakin bahagia.
Namanya usaha apapun hasilnya tentu memiliki nilai tersendiri, ibu
tiriku yang kemudian aku sapa dengan suka-rela pakai sebutan ‘mama’, ini
akhirnya agak membaik, walapun tidak secara frontal, lambat-laun. Tapi
kadang-kadang masih mengatakan kata-kata yang menyakitkan, walaupun mestinya
tidak pantas dilontarkan kepada saya sebagai orang yang sudah beranjak dewasa.
Harapanku keluarga yang dibina oleh ayah, tetap berjalan dengan damai dan cukup
kondusif. Setiap pagi hari ayah dan mama berangkat kerja, bersama Remy.
Sesekali Remy saya antar, bila bangunnya agak molor.
Hari itu keluarga kami ketamuan bu Heidy (tentu bukan nama
sebenarnya), saudara kembar mama tiriku. Istri papa itu bila menyapanya dengan
sebutan mBak Heidy. Artinya bu Heidy ini yang dianggap lebih tua dari mama
tiriku, walau hanya terpaut satu-dua jam saja mungkin. Bu Heidy ini rumahnya di
kota S, kira-kira 100 km dari kota kami. Sering bertandang ke rumah bila
kebetulan ada tugas dinas di kota ini atau sekedar mengunjungi saudara
kembarnya.
Hari itu rencananya perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan
mama tiri saya itu akan menginap di rumah selama dua minggu, katanya -aku
dengar dari pembicaraan mereka-, akan mengikuti sebuah diklat yang diadakan
oleh instansinya di kota ini. Kebetulan tempat diklatnya, gedungnya tidak jauh
dari rumah keluarga kami, kira-kira cuma 500 m saja, sehingga dia tidak perlu
menginap di hotel yang disediakan oleh diklat. Relatif dekat.
Ini kali yang kedua bu Heidy mengikuti acara instansinya di sini.
Waktu itu, juga ada raker, kalau tidak salah enam bulan yang lalu. Saya masih
ingat, selesai raker, saya yang disuruh mama mengantar mereka, saat dua kembar
itu belanja dan keliling keliling kota, karena ayah ada kegiatan di kantor.
Seperti biasanya bila berkunjung, sering keliling kota shopping.
Jadi saya cukup mengenalnya. Dua kembar ini perangainya agak beda.
Kalau yang dianggap muda itu agak sombong, terutama terhadap saya, sedangkan
yang dianggap tua, bu Heidy cukup ramah. Saya sering diajak ngomong dan selalu
menyapa dengan senyuman. Seperti pada umumnya orang-orang bila saling ketemu,
tapi tidak demikian halnya mama tiriku, paling tidak bila dengan saya.
“Ren, tolong antar Bude Heidy ke diklatnya besok, di situ ya” kata
ayah saya hari itu.
“Ya Ayah, baik. Besok saya antar ibu” jawabku.
“Perhatikan ya jamnya, jangan sampai terlambat” mama menimpali.
“Ya Ma, baik”
Pagi itu Senin, bu Heidy siap berangkat, ayah ibu dan Remy sudah
berangkat lebih pagi, seperti biasa, kemudian setengah delapan saya mengantar
bu Heidy dengan memboncengkannya pakai sepeda motor. Perempuan ini cantik,
kulitnya putih bersih, sama dengan mama tiriku, saudara kembarnya. Bedanya, bu
Heidy ini ada tahi lalat di pipinya yang menambah kecantikannya. Pagi itu dia
memakai setelan bleser-celana warna abu-abu tua dan kerudung biru motif bunga.
Cantik, tingginya kira-kira 165 cm, cukup tinggi menurut ukuran perempuan
negeri ini. Sesampainya di gedung tempat diklat dia turun dan aku menawarkan
diri untuk menjemputnya.
“Bila nanti sudah selesai, Ibu bisa telepon atau sms saya, nanti
saya jemput” kata saya.
“Boleh Ren, terima kasih. Tapi jangan sampai mengganggu kuliahmu,
lho” katanya sambil senyum.
“Enggak Bu, saya bisa kok” kataku.
Akhirnya dia setuju dan minta nomor hpku dan akupun meminta nomor
hpnya. Terjadilah acara tukar menukar nomor hp. Kegiatan antar jemput itu
berjalan setiap hari, sebagai kegiatan tambahan, tapi aku tidak menghitung
untung rugi. Toh dia adalah kembarannya mama, sama dengan budeku, walau
dibelakangnya ada tambahan bude tiri. Aku tidak mempermasalahkan.
Sampai di hari Jumat, dia pulang jam tiga, agak siang dari
hari-hari biasa, tiba-tiba dia berkata:
“Bila terus ke sana, sampai mana Ren?” kata bu Heidy sambil
menunjuk jalan arah depan.
“Ada perkebunan teh, pemandangan pegunungan indah Bu” kataku
“Kita ke sana, yuk” katanya spontan.
“Baik” kataku lalu menancap gas menuju ke arah lurus, yang
mestinya belok kiri menuju rumah.
Sekitar lima km, kami sudah sampai, saya berhenti sambil melihat
pemandangan di sekitar kebun dan gunung yang indah. Perempuan ini cukup senang,
mungkin karena daerahnya ngarai. Pada latar belakang pemandangan terlihat
gunung menjulang tinggi, aku berkata;“Saya pernah naik ke sana Bu..” kataku
tanpa ditanya.“Kamu juga suka naik gunung Ren? Pantesan tubuhmu kekar… harus
latihan fisik terus ya..?” katanya saya jawab dengan mengangguk.
Kami keliling dengan sepeda motor, sesekali berhenti membuat foto
panorama dirinya dengan hpnya. Kemudian dia mengajak saya di sebuah café dan
minum di sana. Dari tampat parkir, kami berjalan berdua, jalannya agak
menanjak, tangannya menggapit tangan kiriku, sampai tubuhnya kadang mepet
dengan lenganku. Saat itu rasanya ada suatu aliran listrik arus rendah mengalir
di dalam aliran darahku, mulai dari tangan menjalar ke dadaku dan jantungku
bergetar, bahkan menjalar pula ke arah tititku menjadi agak membesar, walau
tidak tegang.
“Kamu sudah punya pacar Ren?”
“Belum Bu”
“Masa? Umurmu berapa sekarang?” tanyanya kemudian
“Dua puluh dua”
“Apa nggak ada yang tertarik sama kamu? Kamu kan ganteng…” katanya
sambil memegang tanganku.
“Ibu ada-ada aja”
“Kamu nggak malu, berjalan bersama saya, yang sudah tua ini?”
“Ngapain harus malu Bu? Justru saya bangga bersama orang secantik
Ibu”
“Ah kamu Ren. Terima kasih ya, atas pujiannya. ” katanya lalu kami
tersenyum bersama.
Jam setengah lima sore kami baru pulang, selama di café kami
ngobrol ngalor-ngidul, banyak hal yang ditanyakan mengenai diri saya, walaupun
saya juga bertanya perihal suaminya, anaknya dan seterusnya. Bener-bener cantik
perempuan ini, gumanku. Tidak seperti biasanya dalam perjalanan pulang dari
rekreasi tersebut ada perubahan yang mendasar, tangan bu Heidy memegang erat,
melingkar pada tubuhku, walaupun saya berjalan mengendarai bromfit tidak
kencang.
Bahkan badannya yang semula merenggang dengan punggungku, sekarang
mepet sekali, sehingga dadanya yang pasti gunung kembarnya nempel ketat kayak
perangko dipunggungku. Kedua tangannnya dilingkarkan pada perutku, baru dilepas
saat hampir sampai rumah. Inilah penyebab aliran-aliran dalam darahku berjalan
ke seluruh penjuru tubuhku yang aku rasakan. Saya ingin perjalanan ini tidak
segera sampai rumah, tapi apa dikata dalam waktu singkat sampai rumah. Akhirnya
cuma menunggu moment yang indah ini sampai hari berikutnya. Kalau begini
jadinya, menjadi pengojek antar jemput sepanjang tahunpun saya sanggup.
Pikirku.
Sesampai di rumah, Remy sudah siap berangkat les, lalu saya antar
ke tempat les.
“Nanti saya pulang sama mama Kak, mau beli buku. Nggak usah
dijemput” kata Remy setelah sampai di tempat les.
“Ya” kataku
Kembali saya ke rumah, kudapat bu Heidy sudah selesai mandi. Sore
itu dia memakai rok terusan warna putih motif bunga. Serasi sekali. Apapun yang
dipakai tampak pantas dan serasi, dasar orang cantik.
“Kamu mandi dulu Ren”
“Ya Bu” sahutku sambil menuju kamar mandi.
Aku pikir bu Heidy ini lebih gampang akrab dengan saya, dan sangat
memperhatikan saya. Saya merasakan perhatiannya seperti seorang ibu, ini ada
kasih sayang dari seorang ibu. Walaupun pembawaannya agak pendiam, rupanya
perempuan cantik ini ramah dan menyenangkan. Sayapun senang bisa berakrab-akrab
ria dengan dia. Selesai mandi aku menghampirinya duduk di sofa ruang tengah,
sudah ada teh dua cangkir.
“Ini teh Ren, kita minum-minum dulu”
“Wah, Ibu repot-repot. Mestinya saya yang bikin tadi” kataku
basa-basi.
“Nggak apa-apa kamu sudah capek. Kuliah, lalu jemput saya,
mengantar Remy”
“Ya Bu, terima kasih”
Sore itu di rumah hanya kami berdua, saya dan si cantik bu Heidy,
kemarin Parmi (PRT) minta pulang kampung, karena dikabari ayahnya sakit di
desa. Seperti air, maka pekerjaan rumah mengalir, kami kerjakan bersama. Dan
ini sudah menjadi kebiasaan kami di kala PRT pulang.Saya dan bu Heidy duduk
bersama, sambil menikmati teh dan makanan kecil. Saya sudah tidak kikuk, atas keterbukaan
bu Heidy ini, saya sengaja duduk di sofa panjang bersebelahan dengan perempuan
berkacamata ini.
Dia menaruh tangannya di pangkuanku dan sayapun tidak segan
memegang tangannya. Rabaan demi rabaan sempat menggetarkan dadaku, walaupun
tidak sampai bergoncang. Sesekali aku mencium tangannya, yang sebenarnya saya
ingin sekali mencium bibirnya atau paling tidak pipinya yang ranum itu, tapi
tidak aku lakukan. Sebagai pelampiasannya hanya menciumi tangannya, sesekali.
Dan dia mengelus rambutku dengan lembut. Saya benar-benar merasakan belaian
kasih sayang dari seorang ibu.
Di sisi lain, sebagai lelaki yang beranjak dewasa, dadakupun
bergetar menghadapi perempuan dewasa ini. Bahkan saya anggap sebagai perempuan
matang dan mantap. Dari segi umur sudah mantap dan kedudukan sebagai pegawai
sudah berpengalaman. Hal ini dapat saya rasakan dari cara bicaranya yang
berkualitas, seperti dosen ketika sedang memberi kuliah di depan kelas.
Gambaran sebagai sosok yang intelek dan berwawasan luas. Dia mendekatkan diri padaku,
getaran-getaran dada terakumulasi mendorong pada sebuah tindakan, dengan
tanganku mulai berani meraba-raba pahanya, walaupun masih di atas roknya.
Ternyata dia diam dan membiarkan gerak tanganku yang sudah seperti
ular mendesis-desis mencari mangsa, merayap kesana kemari. Rupanya diapun
mengikuti alur anganku dan perasaanku yang terlahir melalui belaian tangan,
bertemunya jari-jemari dan pandangan mata, serta gerakan bibir yang merekah.
Tangannyapun juga membelai pahaku, yang sore itu pakai celana pendek. Ini
dilakukan oleh dua insan lain jenis yang merangkak pada gejolak nafsu
masing-masing. Saya ingin sekali merasakan dan mengalami peristiwa birahi ini
walau setapak demi setapak. Rupanya bu Heidy yang saya ajak menyisir
lorong-lorong indah nan menyenangkan ini mengikuti alur sedemikian rupa,
sehingga tidak ada yang mengetahui siapa yang lebih dulu memulainya.
“Ren aku suka kamu. Kamu baik sekali, dan ganteng lagi…” kata bu
Heidy agak tertahan.
“Kok Ibu tahu saya baik, Baik apanya? Saya sendiri merasakan
biasa-biasa saja” sanggahku.
“Enggak Ren, walau saudara kembarku bersikap begitu terhadap kamu.
Tapi kamu tetap menghormatinya sebagai ibumu, bukan karena takut.
Dan saya juga terima kasih, dengan sayapun kamu baik” katanya sambil membelai
keningku, seperti membelai anaknya.
“Terima kasih Bu, saya juga suka ibu. Ibu cantik sekali dan sangat
perhatian padaku. Ibu sebagai obat penglipur lara, dikala hatiku gundah gulana”
kataku kayak orang berpantun.
Aliran yang semula kecil kemudian membesar itulah yang mendorong
dengan kuat dan menghentak, mengantar pada keberanianku untuk mencium pipi,
kemudian bibir indah bu Heidy. Tanpa hambatan apapun, justru bu Heidy menyambut
dengan ciuman antusias dan mesra. Kami saling mencium, lidah dan bibir kami
saling bertautan, saling melumat, saling mencari kenikmatan dalam peraduan
antara bibirku dan bibir bu Heidy, dengan masing-masing melepas hasrat yang
terakumulasi, kini dia lebih agresif menciumi aku.
Sementara tangan kiriku bertautan dengan tangan kanannya, tangan
kananku menyusup di balik gaunnya meraba dan membelai paha mulusnya. Mulus
bagai batu pualam putih bersih. Sedangkan tangan kanannya juga menyusup di
balik kaosku, membelai-belai lembut dadaku. Tanganku merayap terus ke atas,
sekarang sudah sampai ke bagian perutnya berhenti sejenak di sana, kemudian
meluncur ke atas menuju susunya. Gemetaran ketika tanganku menyelinap di balik
behanya dan kemudian meremas susunya dengan lembut. Setelah melepas ciuman
bibir katanya
“Kita ke kamar aja yuk, Ren”
Tanpa mengulang kata-kata itu, kedua insan lain jenis ini beranjak
bergandengan masuk menuju kamar. Di kamar bu Heidy membuka kaosku dan walaupun
dengan gemetaran, akupun serta merta membuka gaunnya. Kini tampak dengan jelas
beha dan cede yang dipakai, berwarna putih cemerlang, membalut bagian tubuhnya
nampak indah sekali. Mulai dari kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang
cantik, bahunya yang indah, susunya yang montok pinggulnya yang bulat indah
serta kakinya yang indah menggiurkan.
Sepasang pahanya putih mulus menggairahkan. Kegiatan ini fokus
pada ciuman bibir dan belaian lembut, sementara bergerilya keseluruh permukaan
kulit yang lembut itu, tanganku membuka behanya dari kait pada punggungnya,
lama tidak lepas a lot, lalu dia membantu membukakan. Nampak sepasang payudara
yang montok indah sekali. Tanpa menunggu lama sayapun membuka cedenya, yang
dibalas dengan cedekupun dibukanya. Terlebih pada pangkal sepasang pahanya itu
bagian depan di bawah perut, terbentuk seperti huruf ‘V’ yang ditumbuhi rambut
tipis sangat mempesona.
Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan itulah getaran-getaran
yang sejak tadi mengalir kini bergejolak deras dan menggoncang-goncang dadaku.
Aku memeluk kembaran ibu tiriku itu. Aku benar-benar gemetaran, namun kegiatan
tetap berlangsung, lidah kami beradu sambil menari-nari. Kini bu Heidy dan saya
sudah sama-sama polos, tanpa busana, kami saling berangkulan berciuman.
Menakjubkan sekali, saya yang baru beranjak dewasa ini sangat merasakan
kenikmatan yang tiada tara.
“Wah tititmu besar sekali” bisiknya Tititku yang ngaceng maksimal
diurut-urut lembut kemudian dijepit di antara paha mulusnya sambil
digesek-gesek. Dampak ini luar biasa, dadaku semakin gemuruh, sepertinya
darahku sedang mendidih mengaliri seluruh tubuhku.
Sambil meremas payudaranya,
agak menunduk aku menikmati kedua payudaranya yang menggairahkan. Saya remas
mulai dari bawah ke atas dan mempermainkan puntingnya. Kemudian dia naik ke
ranjang, merebahkan diri di ranjang dan mengarahkan lagi payudaranya ke arah
mulutku, katanya “Dinenen Ren..”
Dengan sigap aku mengusap-usapkan wajahku ke susunya yang montok
itu dan kemudian nenen. Puntingnya berwarna merah jambu, seperti oase di padang
pasir yang sangat menggairahkan. Pertama dengan lidahku memainkan putingnya
kemudian ngedot, persis seperti balita yang nenen ibunya. Sementara itu kedua
tangannya merangkul bahuku dengan membelai-belai punggungku. Tangankupun sibuk
dengan kedua benda ajaib ini. Enak dan menyenangkan. Sementara tititku
menelusuri celah pahanya, sesekali tangannya dengan lembut membelai-belai titit
yang sudah keras luar biasa itu.
Kami berdua bergumul, saling menindih dan pada kaki-kaki kami
saling melilit. Saya menindih perempuan molek itu dan menggumuli dengan
ciuman-ciuman lembut. Acara ini rupanya berpusat pada ciuman bibir dan saling
belaian tangan yang sangat mendorong rasa gairah yang luar biasa. Tanpa sengaja
tanganku menyentuh pada bagian selakangannya, kelihatannya basah dan aku
mencoba menyentuh bibir-bibirnya kiri kanan dan pada bagian atasnya. Gerakan
tanpa sadar ini ternyata mengakibatkan erangan bu Heidy lewat mulut indahnya
itu. Lalu gerakan aku ulang kembali yang membuat dia mengerang kembali.
Tanganku erat memegang bahunya, mulutku masih merasakan hangatnya bibirnya,
kemudian lidahku menjulur-julur merangkak menikmati susunya kembali.
“Mulai yuk, masukkan” “Ya Bu, terima kasih. Tapi diajari Bu, saya
tidak tahu caranya” kataku
“He-eh..” katanya sambil memegang tititku.
Lalu aku menindih bu Heidy yang bertumpu pada kedua siku-sikuku,
kedua telapak tanganku memegang bahunya dari bagian belakang, kemudian
pinggangku beringsut, untuk mengambil posisi tepat tititku pada selakangannya.
Lalu secara naluri aku tekan masuk lalu pinggulku menggoyangnya.
“Belum masuk, itu baru terjepit paha” bisiknya
“Maaf Bu. Lalu gimana nih…” Titit yang sudah maksimal kencang
seperti peluru kendali itu dipegang bu Heidy,
Kemudian diarahkan dan dipasangkan pada tempiknya (Mrs Vnya) di
antara kedua pahanya yang dibuka, sehingga selakangannya merekah.
“Sekarang tekan tapi pelan-pelan aja” bisiknya
Aku lakukan sesuai dengan instruksi, saya tekan masuk dengan pelan
tapi pasti. Pasti masuk ke lobang kewanitaan perempuan karier itu diiringi
dengan desahkan lembut. Ternyata mudah. Nikmatnya luar biasa! Senjataku masuk
pada Vnya bu Heidy terasa sempit. Makanya saat perjalanan masuk itu, mata bu
Heidy terjaga memandangiku serius, merasakan nikmat juga. Pada saat masuk
itulah rasa perasaan dan dentuman dada seolah serentak menyatu dalam kenikmatan
yang tiada tara, baru merasakan hal yang benar-benar baru dan nikmat seumur
hidupku. Secara naluri saya menggerakkan pinggulku, maju mundur.
Pada setiap gerakan pinggulku selalu disambut dengan gerakan
pinggul bu Heidy yang naik-turun, keluar masuk, kadang memutar, sesuai dengan
ritme gerakanku. Gerakannya selalu berlawanan dengan gerakanku, bila aku
memutar ke kanan dia menggerakkan berlawanan.
Bila saya sodok masuk, pinggulnya
ditekan ke atas. Kedua kakinya dililitkan pada kedua kakiku, maka menyatukah
kami mulai dari mulutku dengan bibirnya, kedua jemariku dan alat seks kami
tentu saja yang menjadi poros dan pusat kegiatan. Gerakannya monoton dan
sederhana, tapi ternyata membawa nikmat luar biasa. Dadaku kembali bergemuruh
seperti akan datang badai dahsyat, namun nyaris tak terdengar suara berisik
kecuali desah mendesah di kamar berukuran empat kali lima meter tersebut.
Nafas bu Heidy terengah-engah seperti atlet yang sedang lari 100
meter saja. Dia minta berguling, alih posisi, dia di atas aku di bawah. Saat di
atas itu dia gerakannya lembut tapi mempesona, meliuk-liuk, kadang duduk dan
memutar pinggulnya, dan susunya bergoncang-goncang indah. Tanganku memegang
erat kedua pantatnya dan sesekali meremas susunya dengan gemasnya. Kadang dia
telungkup menindih saya, sambil menyatukan bibir mulut kami. Gerakannya makin kencang
sampai menggoncang-goncang tubuhku dan tempat tidurnyapun ikut bergetar, lalu
diiringi dengan desahan kuat.
“Ah…..uh….eh… aku sampai Ren….” katanya sambil menggong-goncang
tubuhku.
Wajah bu Heidy merona merah jambu saat orgasme. Setelah erangan
itu, gerakannya keras sekali, lalu merambat, lambat laun melemah sesekali
dihentakkan, naik turun akhirnya berhenti. Saat berhenti dia terkulai
menindihku sesekali menggerakkan pinggulnya dan mencium ku.
Setelah beberapa menit kemudian dia beranjak kemudian berbaring di
sampingku, sambil mendesah puas.
“Sekarang lanjutkan Ren, kayak tadi” katanya
Dia terlentang dengan membuka lebar pahanya dengan lutut sedikit
menyiku, sehingga tampak Mrs Vnya merekah yang tadi warna pink sekarang memerah
dan yang basah kuyup, menggairahkan. Kembali aku menindih tubuh molek itu, dan
mulutku kembali mengulum-kulum pentilnya. Tititku kembali masuk pada
sasarannya, kini saya sendiri yang menancapkan pada Vnya Bu Heidy, tanpa
bantuan si empunya barang nikmat tersebut. Aku sudah sedikit tahu caranya.
Kembali aku menggerak-gerakkan pinggulku seperti orang memompa, naik turun dan
memutar. Tumpuan yang sangat nikmat ini terasa licin dan basah yang menjadikan
gerakan dan kegiatan ini masih lancar dan nikmat.
Kedua tanganku menyiku dan kedua tanganku memegang erat kedua
bahunya dari bawah. Tubuh putih mulus ini mulai bergerak-gerak di bawah
himpitanku, terutama pada pinggulnya berputar-putar dengan indahnya. Dia
mengimbangi dengan gerakan bergoyang pada pinggulnya, sehingga membawa efek nikmat
pada tititku dari kuluman lembut Vnya. Nikmat sekali. Tetapi gerakan masih
seperti tadi, keluar masuk sedangkan bibirku tetap asyik pada bibir indah bu
Heidy dan pada susunya yang montok itu. Permainan ini menyenangkan sekali yang
sekaligus membawa nikmat.
Dari tubuh yang membara itu, tiba-tiba terasa aliran darahku dalam
tubuh terasa deras, menekan dan mendorong kuat pada gairah yang semakin
meningkat. Demikian halnya dengan dadaku berdetak dan bergetar kencang, seperti
hempasan angin puting beliung. Sementara tititku yang super ngaceng itu terus
melakukan kegiatan menggarap V milik bu Heidy yang nikmat luar biasa itu.
Akhirnya dorongan yang begitu dahsyat itu, menghentak kuat ditandai dengan
keluarnya pancaran spermaku masuk dalam lobang milik Bu Heidy yang diiringi
dengan kenikmatan luar biasa. Inilah pengalaman yang mungkin tidak bisa
terlupakan.
“Ah.. uh……” desahku diikuti desah bu Heidy sahut-sahutan. Rupanya
dia orgasme lagi, wajah ayunya merona merah jambu kembali, mengasyikan. Nikmat
abiz!
Nafasku berkejar-kejaran bersama bu Heidy, seolah-olah ingin
saling mendahului mencapai kenikmatan bersama. Perempuan cantik itu memeluk
punggungku ketat dan kaki kami saling berlilitan. Aku menutup bibirnya dengan
bibirku. Kami benar-benar menyatu dalam kenikmatan sore itu. Kiri-kira sepuluh
menit kemudian kami saling melepaskan diri, dan saya merebahkan diri di
sisinya, saling menghela nafas panjang. Nafas kepuasan. Langit-langit dan seisi
ruangan tetap tenang, sebagai saksi bisu permainan dahsyat itu. Bu Heidy berpaling
ke arahku sambil tersenyum.
“Terima kasih ya Ren.. kamu hebat. Saya puas sekali” bisiknya
“Saya Bu yang berterimakasih. Ibu memberi kenikmatan….” kataku
disambut dengan anggukan dan senyum manis sambil mengelus bahuku.
“Ya, kita sama-sama” Inilah pengalaman pertama yang tentu tidak
akan aku lupakan sepanjang sejarah hidupku bersama bu Heidy.
Kemudian dia beranjak ke kamar mandi, aku mengikutinya saling
membersihkan diri. Kemudian berpakaian kembali. Lalu aku kembali bercengkerama
di sofa seperti tadi sambil menikmati teh, sesekali berciuman dan
membelai-belai bagian-bagian tubuhnya yang molek itu. Waktu menunjukkan pukul
setengah tujuh malam, kami berdua mulai bercumbu lagi, rasa dan perasaan serta
nafsu menyatu menghangat kembali. Kami berdua berciuman hebat lagi dan saling
meraba pada tubuh kami. Saya meraba mulai dari pahanya, susunya dan selakangannya.
Tangannya merogoh pada celanaku dan mengeluarkan senjataku,
kemudian dia menunduk dan mengulum lembut. Adegan yang tanpa aku duga
sebelumnya, pertama lidahnya menari-nari pada kepada tititku kemudian mengulum,
rasanya nikmat sekali. Lalu kami beranjak ke tempat tidur dimana kami melakukan
di babak pertama tadi. Walau tanpa kata-kata, rupanya bu Heidy sepakat dengan
hasratku yang makin memuncak ini. Diapun mengikuti alur kegiatan nafsu itu
dengan membuka pakaianku satu persatu, akupun membuka pakaiannya, sehingga kami
berdua kembali telanjang tanpa pakaian lagi.
Setelah melewati percumbuan yang seru, aku tak sabar, saat
menindih tubuhnya langsung memasukkan senjataku pada Vnya yang langsung
disambutnya. Penetrasi terjadi kembali kami saling menyerang dan saling
menikmati. Di tengah-tengah keasyikan tersebut, tiba-tiba hp bu Heidy berbunyi.
Saya sempat tersentak. Masih dalam posisi semula, saya berusaha menggapai hpnya
yang ditaruh di meja nakas (set lemari kecil tempat tidur), lalu saya berikan kepada
yang empunya hp. Lalu volume speakernya dibesarkan. Dari seberang sana:
“mBak jangan makan dulu ya, aku beli lauk” suaranya dari hp,
rupanya suara ibu tiriku.
“Ya. Ini di mana?” jawab bu Heidy
“Masih di toko buku, ini hampir selesai. Paling duapuluh menit
sampai rumah” terdengar kata kembarannya bu Heidy itu.
“Ya nggak apa-apa” sahut bu Heidy.
Lalu hp di taruh pada tempatnya, dan kami melanjutkan kegiatan
lagi, tapi lebih cepat supaya lekas selesai.
Baru saja aku telah mendapatkan kenikmatan yang belum pernah aku
pikirkan sebelumnya. Memang saya pernah membayangkan nikmatnya hubungan suami
istri kelak, jika sudah mempunyai istri. Beberapa tahun lagi, setelah selesai
kuliah atau setelah mendapatkan pekerjaan. Tapi ini, diluar dugaan saya, sore
itu tonggak sejarah mengukir, bisa merasakan nikmatnya bercinta bahkan
bersenggama dengan seorang perempuan dewasa, cantik lagi. Inilah yang
sebenarnya tak terbersit dalam pikiranku sebelumnya. Kejadiannya begitu
mengalir bagaikan aliran air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah.
Malam harinya saya hampir tidak bisa tidur, pingin rasanya masuk
di kamar bu Heidy, mengulang adegan demi adegan seperti tadi. Kami hanya
ber-BBMan sampai larut malam. Pagi harinya, Sabtu, hatiku berbunga-bunga,
pikiranku terang benderang, seindah sinar mentari. Betapa indahnya hidup ini.
Seperti biasanya aku mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci mobil dan mengepel.
Ayahku menghampiriku hatiku berdebar, jangan-jangan ia tahu apa yang aku
lakukan?
“Ren, kalau kamu capek, cuciannya tidak usah kamu cuci. Biar papa
nanti yang cuci” katanya setengah berbisik kepadaku.
“Ya Pa, Rendi baik-baik saja” kataku penuh hormat.
Pagi itu Papa mengantar Remy, sekalian mengantar mama tiriku ke
dokter kandungan. Seperti biasanya bila kontrol kandungan hari Sabtu. Mama
memang mengandung, entah sudah berapa bulan umur kandungannya, tapi yang jelas
perutnya sudah kelihatan mblenduk. Bu Heidy diajak mama, sekalian nanti
jalan-jalan setelah dari dokter, tapi bu Heidy tidak mau.
“Saya di rumah saja, agak pusing nih…” katanya beralasan kepada
kembarannya.
Saya agak bertanya dalam hati, perasaanku bu Heidy baik-baik saya,
tidak lesu? Apakah pengaruh permainan kemarin sore, terlalu banyak gerak?
Sehingga jadi pusing. Ah aku tidak tahu. Setelah selesai mengepel, akan saya
lanjutkan cuci. Bu Heidy menawari minum teh dan makan roti. Tapi cangkirnya
cuma satu.
“Ini untuk kita berdua, Sayang” katanya.
Setelah minum teh dan makan roti, bu Heidy membantu aku mencuci dan
menjemurnya. Kemudian perempuan menyenangkan itu mengajak aku mandi bersama.
Asyik…., ada acara mandi bersama segala. Saat mandi tititku tegak bukan
kepalang, di bawah guyuran air shower bu Heidy yang berdiri di depanku aku
peluk dengan kencang dan aku agak merendah, kemudian menyodokkan senjataku pada
Mrs Vnya. Berulang-ulang tapi tidak maksimal masuk dan sering terlepas, lalu
kakinya diangkat sebelah, baru bisa masuk. Lelah dalam posisi begini, kemudian
perempuan paruh baya itu melepaskan diri dan agak menunduk, sementara tangannya
memegang stanlees tempat handuk.
“Masukkan dari belakang” katanya, aku menurut saja. Wah ini
benar-benar seperti di film, pikirku. Enak juga dari belakang, doggy style
namanya. Tapi adegan ini tidak berlangsung lama, hanya beberapa kali sodokan
saja, dia berdiri dan berkata:
“Sudah, nanti dilanjutkan di kamar” katanya aku menurut saja.
Selesai mandi kami tidak langsung berpakaian, tetapi kembali
bergumul di tempat tidur seperti kemarin sore, tentu saja setelah mengeringkan
badan dengan handuk. Mengulang adegan demi adegan yang sebenarnya sangat
sederhana. Ada barang seperti peluru kendali, kemudian dimasukkan ke lobang,
yang bila dilihat sepintas hanya berupa garis vertikal berwarna pink, kita-kira
5 cm, tapi ternyata itu adalah lobang yang mempesona. Dari kegiatan yang
sederhana itulah, anehnya membawa dampak luar biasa nikmatnya, terutama bagi
yang melakukan. Baik yang punya lobang maupun dan yang memiliki senjata.
Dua-duanya memetik kenikmatan yang hanya boleh dilakukan oleh orang
dewasa. Luar biasa! Ingin sekali rasanya melihat kayak apa sebernarnya struktur
V ini, lalu aku kubuka pahanya dan membuka vaginanya sambil memainkan jemariku
pada lobang berwarna pink itu. Kerajinan tangan ini ternyata membawa efek bagi
yang empunya benda ajaib ini, bu Heidy bergelincangan hebat dengan
menggerak-gerakkan kedua kakinya kesana kemari dengan mendesis lembut.
Setelah puas melihat dan mempermainkan lorong tersebut, aku cium
bibirnya. Dia menggapai tititku, benda yang tegak seperti tugu itu dikulum dan
lidahnya menari-nari pada kepalanya, dilakukan berulang-ulang. Kontan saja saya
bergelincangan hebat, nikmat luar biasa. Sesi berikutnya mengulang seperti
semalam, memasukkan dengan lembut tititku pada tempiknya, yang selalu diakhiri
dengan kenikmatan hebat.
Sisa satu minggu bu Heidy di rumah, masih sempat kami lakukan
walau hanya dua kali, karena ada pihak ketiga, pembantu sudah datang. Kepingin
rasanya pada malam-malam buta, saat penghuni rumah tertelap tidur, saya ingin
melepas hasratku. Tapi bu Heidy tidak mau. Berbahaya katanya. Aku menurut saja,
toh saya sudah beberapa kali merasakannya lagi pula saya harus mematuhinya.
Setelah selesai diklat dua minggu bu Heidy pulang, berat rasanya
ditinggalkan perempuan yang pernah memberi pelajaran berharga sekaligus
mengasyikkan itu. Membekas rasanya di hatiku. Tapi setelah itu, paling tidak
sebulan sekali kami bertemu, bila dia kebetulan ada dinas di kota ini. Setelah
selesai urusan dinasnya, pernah beberapa kali dia minta aku untuk menemaninya
melepas rindu di sebuah hotel pada siang hari dan baru sore harinya dia pulang
ke kotanya atau ke rumah kami menemui kembarannya, bila dia ingin menginap.
Pernah perempuan cantik itu, meminta saya untuk menemaninya saat
tugas di kantor pusat, selama seminggu. Saya agak keberatan, bagaimana izinku
kepada ayah? “Tapi kamu libur to?” katanya lewat handphone di saat itu. “Ya Bu,
saya libur” “Bilang, ada acara kampus atau naik gunung gitu Ren. Saya takut
sendirian di hotel, tidak ada yang nemeni”
Akhirnya saya setuju dan kemudian izin kepada ayah dengan alasan
naik gunung dan ayah menyetujui. Pada hari yang telah ditentukan kami berdua,
sore itu tiba di bandara dari jurusan penerbangan yang berbeda. Kemudian
langsung menuju ke sebuah hotel yang dekat dengan kantor pusatnya. Sore itu bu
Heidy memakai baju putih polos lengan panjang, ujungnya menjuntai sampai pada
pahanya dan celana jeans krem serta kerudung dasar putih corak coklat bermotif.
Setelah sampai di kamar, kamu berdua saling berpelukan dan berciuman sejadi-jadinya,
melepas rindu selama hampir dua bulan.
“Kita mandi dulu yuk Ren” katanya
Kami melepas rindu sambil saling melepas pakaian, lalu sambil
berpelukan menuju kamar mandi. Dari kamar mandi tanpa berpakaian melanjutkan
pergumulan, saling mencium dan meraba. Sasaran yang cukup menyenangkan adalah
kedua susunya yang menggemaskan. Selain meraba, juga mengedot dan memilin-pilih
puntingnya. Kemudian seluruh wajahku kupakai untuk mengusap seluruh gunung
kembar milik bu Heidy dan sesekali meremas keduanya dengan lembut. Benar-benar
naik gunung nih…!, pikirku. Perempuan cantik berkulit putih bersih itupun,
tidak kalah sengitnya. Dia memegang terus tititku yang tegak seperti tugu monas
itu, kemudian di emut dan lidahnya menari-nari pada kepala senjata itu dan
membawa efek yang luar biasa nikmatnya.
Pergumulan seru, tapi nyaris tak bersuara, hanya desah mendesah di
kamar hotel mewah tersebut. Sekarang aku terlentang, bu Heidy mengambil posisi
duduk pada pinggangku, sehingga alat seks kami bertemu. Tangannya yang indah
itu memegang tititku dan memasukkan, menghujam pada mrs Vnya yang sudah
membasah itu. Pinggulnya yang berbentuk indah itu, mulai bergerak memutar dan
maju-mundur yang digerakkan secara berulang.
Entah sudah sampai berapa putaran, saya tidak tahu, yang jelas
setelah lebih dari lima menit putarannya makin keras dan intensif, sampai
menggoncang-goncang tubuhku. Lalu kedua tanganku memegang sambil meremas lembut
payudaranya yang bergelantungan indah pada dadanya. Dalam waktu berikutnya
diiringi dengan desahan panjang dari mulut bu Heidy.
“Ah…uh… eh” desahnya berkali-kali lalu tubuhnya merebah di atas
tubuhku, dia orgasme, wajahnya merona merah jambu.
Pinggulnya masih bergerak, tapi makin pelan dan akhirnya hanya
bergerak, ala kadarnya saja, seperti ular yang baru saja menelan mangsanya.
Setelah beberapa menit bu Heidy menikmati orgasmenya, saya ajak
dia berguling tanpa melepas alat seks kami dan saya mulai menindihnya dan
memompanya dengan gerakan naik turun, keluar masuk dan kadang berputar lembut.
Gerakan ini saya lakukan dengan seluruh rasa dan perasaan, betapa indahnya
permainan ini. Kegiatan yang lembut dan mempesona ini diikuti dengan indahnya tubuh
bu Heidy yang mengeliat-liat seperti penyanyi ndangdut yang sedang manggung.
Karena asyiknya permainan ini, tanpa terasa aku menaiki bu Heidy sudah lebih
dari sepuluh menit. Dengan posisi demikian saya yang lelah, bu minta ganti
posisi.
Dia berbaring miring memunggungi aku, kaki kanannya diangkat dan
lututnya dilipat, saya diminta menusukkan senjataku dari belakang. Aku
mendekatkan senjataku pada selakangannya yang terbuka lebar itu, lalu
memasukkan. Agak ribet, tetapi menuai kenikmatan tersediri, walaupun gerakannya
tidak jauh berbeda dengan tadi. Tanganku berpegangan pada payudaranya dan
bibirku mencium ketat pada bibirnya. Seperti apa yang saya katakan pada
pengalaman pertama yaitu apapun yang kami lakukan dalam gerakan membawa efek
nikmat sekali.
Dan apa yang terjadi? Dengan kenikmatan yang bertubi-tubi itu,
maka saya pikir siapapun tidak akan kuat bertahan. Seperti halnya aku, dengan
kenikmatan yang tiada tara tersebut, maka dengan hentakan gerakan yang makin
kuat dan dahsyat, maka terlepaslah tenaga itu yang ditandai dengan semprotan
air maniku masuk dengan dahsyat ke lobang kenikmatan milik bu Heidy yang
diiringi dengan kenikmatan yang luar biasa. Sulit untuk digambarkan. Bu Heidy
sebagai pihak yang menerima seranganku inipun tidak berbeda, bahkan dia
merintih-rintih dengan desahan yang lebih keras karena orgasmenya terjadi
bertubi-tubi pula.
“Ah..uh…eh…”
“Keluar Bu?” kataku terengah-engah
“Yah… tiga kali ini…”
Malam itu kami mengulang setiap serangan dan berakhir dengan
kenikmatan bersama. Selama seminggu, menemani bu Heidy di hotel kami berdua
mengarungi kenikmatan demi kenikmatan.
Kira-kira lima bulan sejak pertama kali aku mengenal hubungan seks
bersama bu Heidy, kini di lain pihak mama tiriku melahirkan di rumah sakit.
Saya memberi kabar kepada kakak kembarannya, bu Heidy. Dua hari berikutnya bu
Heidy muncul bersama suaminya, aku agak kecewa tapi tidak aku tunjukkan. Secara
sembunyi-sembunyi bu Heidy tadi sempat mencium saya. Kali ini penampilnnya
lain, perutnya mulai membesar juga. Beberapa waktu yang lalu ia mengabariku,
bahwa anaknya yang berusia 10 tahun akan punya adik.
Jelasnya dia sedang hamil anak kedua, seperti kembarannya yang
kini melahirkan anak kedua, setelah Remy. Sore harinya mereka berangkat ke
rumah sakit membezuk mama tiriku, sampai malam. Keesokan harinya seperti
biasanya aku mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci mobil, tapi ayah melarangku,
karena mobilnya masih cukup bersih. Lalu aku mencuci mobil suami bu Heidy yang
kotor berat itu. Jam sembilan situasi sepi kembali, ayah dan Remy sudah
berangkat. Terakhir suaminya bu Heidy juga pergi entah kemana, katanya ada
urusan bisnis dengan temannya.
“Jangan lama-lama Pa” kata bu Heidy kepada suaminya
Kini kami bertiga, bu Heidy, Parmi dan saya. Sementara Parmi
mencuci di belakang, saya masuk ke kamar bu Heidy, dan menciumi wanita cantik
itu. Diapun menyambut dengan senang dan kami saling berciuman hebat. Maklum
sudah cukup lama tidak berjumpa. Tanganku mengelus-elus perutnya yang besar,
langsung aku menarik ke bawah cedenya. Ketika gaunnya akan aku buka, dia
melarang dan bilang: “Enggak usah dibuka, begini saja. Ada Parmi” katanya
lembut, aku menurut saja.
“Kita cepetan aja tapi pelan-pelan” bisiknya lagi.
tanpa terasa perjalanan indah bersama bu Heidy sudah berlangsung
lama sampai aku selesai kuliah. Ketika itu bu Heidy sudah berusia 38 tahun, aku
25 tahun. Dia minta kepada ayahku;
“Om, di kantorku ada lowongan, biar Rendy kerja di sana” kata bu
Heidy kepada ayahku di suatu hari dan ayahku setuju.
Akupun juga menyambut dengan senang. Kini setelah melalui test
yang rumit mulai kantor pusat sampai akhirnya di tempatkan di sebuah kota yang
tidak jauh dari kantor bu Heidy. Dan tentu saja saya sering mengunjunginya,
semangatnya luar biasa masih seperti dulu. Merajut cerita asyik dan mempesona.
Apabila liburan saya sering main di rumahnya, menyatu bermain
dengan kedua anaknya. Pada saat rumah sepi, kami melepaskan rindu mengarungi
laut luas kenikmatan dalam bahtera asmara. Rasa dan perasaanku makin dekat dengan
bu Heidy, demikian juga dia merasa bagian dariku, walau tidak kelihatan. Tapi
di balik itu dia takut apabila di suatu waktu harus berpisah denganku, ketika
nanti saya menikah. Dia tidak mau kehilangan aku, perasaankupun tidak jauh
berbeda dengannya.
Baca juga :
Adi jogja
ReplyDeleteBuat pasutri yg pengen 3some
Ganteng,clean,ramah,no rokok/drug saling klik baru lanjut
PIN 540A1763
Jogja